Oleh: Tim Redaksi ETOLESA WEB.ID
- Branding “Sumenep Soul of Madura” menjadi penguat identitas, namun perlu ditopang pengelolaan budaya dan wisata yang konsisten.
- Transformasi budaya, seperti tongtong menjadi ul daul, menuntut klarifikasi sejarah dan pelestarian originalitas.
- Infrastruktur pariwisata Sumenep perlu diperkuat agar sejalan dengan klaim identitas sebagai “jiwa” Madura.
Frasa “Sumenep Soul of Madura” kini hadir sebagai slogan yang mencolok di berbagai ruang publik kota. Tulisan besar di area Taman Bunga Sumenep menjadi simbol baru tentang bagaimana daerah ini ingin menempatkan dirinya di mata Madura maupun Indonesia. Pada peringatan Hari Jadi Sumenep ke-756, tema ini diluncurkan secara resmi melalui pidato Wakil Bupati. Sebuah deklarasi yang bukan hanya estetika visual, tetapi juga bagian dari strategi branding daerah.
Dalam konteks pemasaran wilayah, slogan seperti ini lazim digunakan untuk mengukuhkan identitas. Ia menjadi penanda bahwa Sumenep ingin tampil sebagai representasi kekayaan budaya Madura, sekaligus menyampaikan pesan tentang karakter unik yang ingin diangkat. Namun pertanyaan muncul: sejauh mana klaim “jiwa” dari sebuah pulau dapat dipahami dalam konteks budaya, sejarah, dan pengelolaan aset wisata?
Sumenep adalah kabupaten paling timur di Pulau Madura, dengan jarak geografis yang relatif jauh dari pusat mobilitas ekonomi di Bangkalan atau Sampang. Letak ini menciptakan tantangan tersendiri, baik dalam aksesibilitas maupun dalam interaksi dengan arus modernisasi. Meski begitu, Sumenep memiliki kekayaan budaya yang berlapis: musik klasik, karaton, manuskrip tua, tradisi masyarakat pesisir, hingga jejak kerajaan masa lampau yang meninggalkan situs bersejarah.
Namun, di tengah kekayaan tersebut, ada pandangan yang menyebut bahwa penggalian budaya belum dilakukan secara optimal. Beberapa kesenian tradisional mengalami transformasi, sebagian kehilangan bentuk awalnya. Contoh yang sering disoroti adalah perubahan tongtong menjadi ul daul—kesenian yang digemari publik modern, namun menimbulkan diskusi panjang tentang asal-usul dan autentisitasnya.
Dalam wawancara yang dikutip media, Tadjul Arifien R, Pakar Sejarah dan Budayawan Kabupaten Sumenep, menyampaikan pengalamannya menelusuri seni tersebut sejak ia lahir pada 1952.
“Saya lebih menyenangi musik-musik klasik bukan kontemporer, setelah saya kaji dan telusuri, seni musik Ul Daul itu milik daerah lain, yaitu Kabupaten Pamekasan. Karena waktu itu saya kerja di PT. Djarum Kudus sebagai propagandis. Disana dulu pertama kali, kemudian melebar ke lain daerah termasuk Sumenep. Ul Daul itu kata asalnya Ur Saur, dan orang Pamekasan menyebut Ul Daul,” jelasnya. Ia saat ini menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Sumenep.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa identitas budaya tidak pernah tunggal. Ada silang sejarah, pergerakan tradisi, dan adaptasi lintas wilayah yang membuat sebuah seni tumbuh bukan sebagai milik eksklusif satu daerah, tetapi sebagai bagian dari ekosistem budaya Madura secara keseluruhan. Dalam konteks ini, pemilihan frasa “Soul of Madura” harus dibaca sebagai upaya memperkuat positioning, bukan sebagai klaim absolut tentang superioritas budaya.
Sebagaimana tari kecak di Bali, yang meskipun mendapatkan sentuhan modern namun tetap menjaga 99 persen musik originalnya, tantangan Sumenep adalah menemukan titik seimbang antara pelestarian dan pembaruan. Modernisasi seni tidak bisa dihindari, tetapi originalitas adalah fondasi legitimasi dalam branding budaya.
Pada sisi lain, penguatan identitas budaya harus sejalan dengan pengembangan sarana-prasarana wisata. Sumenep memiliki destinasi unggulan seperti Lombang, Slopeng, Gili Iyang, dan Pantai Sembilan. Keempatnya punya potensi besar—dari pasir khas hutan cemara laut hingga pulau dengan kadar oksigen tinggi—tetapi pengelolaannya masih perlu diperkuat. Destinasi-destinasi itu tumbuh alami, namun dukungan infrastruktur wisata, edukasi publik, dan penyajian narasi budaya masih terbilang terbatas.
Taman Bunga Sumenep, yang seharusnya menjadi ikon ruang publik, juga memerlukan penataan lebih serius agar mencerminkan citra yang diusung slogan tersebut. Dalam kerangka branding daerah, estetika ruang publik adalah bagian dari narasi. Ketika visual kota tidak mendukung identitas yang dipromosikan, gap persepsi bisa muncul.
Karena itu, penting untuk memahami bahwa slogan “Sumenep Soul of Madura” bukan semata seruan emosional, melainkan strategi yang membutuhkan tindak lanjut. Branding tanpa eksekusi hanya menjadi kalimat megah yang mengapung di udara. Kekuatan sebuah klaim identitas terletak pada konsistensi antara pesan dan realita lapangan.
Branding yang efektif harus mengintegrasikan pelestarian budaya, pengembangan wisata, tata kota, hingga edukasi publik. Ia tidak boleh berdiri sendiri. Ketika budaya dikembangkan dengan riset sejarah yang kuat, ketika wisata dikelola dengan standar pelayanan yang baik, ketika seni diberi ruang untuk tumbuh tanpa menghilangkan akar originalnya, maka slogan seperti ini akan menemukan pijakan yang kokoh.
Dalam konteks ini pula, esai ini tidak bertujuan mengkritik, melainkan menafsir ulang. “Soul”—dalam dunia branding—bukan tentang siapa yang paling asli, tetapi siapa yang paling berhasil merangkum narasi, mempresentasikannya, dan membuat publik merasa terhubung. Dengan pemahaman ini, frasa “Sumenep Soul of Madura” bisa dibaca sebagai ajakan untuk membangun kembali kebanggaan budaya dengan cara yang inklusif, bukan eksklusif.
Sumenep memiliki modal sejarah yang panjang, manuskrip berharga, karaton yang terawat, seni musik klasik yang kaya, serta masyarakat pesisir yang hidup dengan tradisi turun-temurun. Modal itu menjadi pijakan kuat untuk memperkuat identitas budaya Madura secara keseluruhan.
Namun, perjalanan menuju penguatan branding ini masih panjang. Diperlukan pembenahan wisata, penguatan literasi budaya, pelestarian arsip sejarah, serta harmonisasi antara budaya klasik dan budaya yang berkembang.
Pada akhirnya, “Sumenep Soul of Madura” bukanlah tujuan akhir. Ia adalah pintu masuk untuk melihat ulang bagaimana budaya, sejarah, dan pariwisata bisa bergerak bersama. Sumenep memiliki peluang besar untuk menjadi pusat representasi budaya Madura—asal bekerja dengan konsisten, objektif, dan berbasis riset.
Soul, dalam branding daerah, bukanlah ego. Ia adalah narasi yang dibangun bersama. Dengan langkah terukur, frasa ini bisa menjadi simbol penguatan identitas, bukan sekadar slogan yang terucap pada perayaan hari jadi. Dengan demikian, Sumenep dapat menempatkan diri sebagai ruang yang menyimpan, merawat, dan mempresentasikan kekayaan Madura dalam bentuk yang paling utuh dan inklusif.
(*)
Ref: Musik Tong Tong Sumenep, Eksistensi Budaya yang Tergerus Zaman
Tag Keyword SEO:
Sumenep,Soul of Madura,branding daerah,Madura,wisata Sumenep,budaya Sumenep,identitas budaya,pariwisata Madura,ul daul,tongtong,sumenep heritage,pengelolaan wisata Sumenep
Tag Keyword SEO:
Sumenep,Soul of Madura,branding daerah,Madura,wisata Sumenep,budaya Sumenep,identitas budaya,pariwisata Madura,ul daul,tongtong,sumenep heritage,pengelolaan wisata Sumenep

