etolesa.web.id – Sumenep - Polemik pengadaan tablet DPRD Sumenep kembali memanas setelah Sekretariat DPRD tetap melanjutkan proses pembelian meski Komisi I secara tegas meminta program tersebut dibatalkan.
Keputusan yang dianggap “nekat” ini memunculkan tanda tanya besar dari publik, terutama soal urgensi dan motif di balik proyek bernilai sekitar Rp500 juta itu.
Komisi I DPRD Sumenep sebelumnya telah menggelar rapat resmi dengan Sekretariat DPRD. Dalam rapat tersebut, komisi yang membidangi pemerintahan itu sepakat meminta pengadaan tablet dibatalkan.
Komisi I DPRD Sumenep sebelumnya telah menggelar rapat resmi dengan Sekretariat DPRD. Dalam rapat tersebut, komisi yang membidangi pemerintahan itu sepakat meminta pengadaan tablet dibatalkan.
Alasannya sederhana: manfaatnya dinilai tidak signifikan bagi kinerja legislator, apalagi di tengah banyaknya kebutuhan publik yang lebih mendesak.
Namun, permintaan pembatalan Komisi I tak didengar, dan Sekretariat DPRD tetap melanjutkan pengadaan, seolah tak takut kepada siapa pun.
Namun, permintaan pembatalan Komisi I tak didengar, dan Sekretariat DPRD tetap melanjutkan pengadaan, seolah tak takut kepada siapa pun.
Sikap ini menimbulkan dugaan adanya “unjuk kekuasaan” tanpa memedulikan marwah Komisi I DPRD Sumenep, berani mengambil langkah ekstrem dengan mengabaikan alat kelengkapan yang justru memiliki fungsi pengawasan.
Seorang pengamat kebijakan publik menilai keputusan Sekwan tersebut dapat merusak marwah DPRD Sumenep.
Seorang pengamat kebijakan publik menilai keputusan Sekwan tersebut dapat merusak marwah DPRD Sumenep.
“Kalau keputusan Komisi I saja bisa diabaikan oleh sekwannya sendiri, lalu bagaimana kehormatan lembaga legislatif ini ke depan? Keputusan DPRD seolah tidak bernilai apa-apa,” ujarnya.
Publik semakin heran karena nilai pengadaan mencapai setengah miliar rupiah. Anggaran sebesar itu, menurut sejumlah warga, bisa dialihkan untuk perbaikan infrastruktur atau kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak.
Publik semakin heran karena nilai pengadaan mencapai setengah miliar rupiah. Anggaran sebesar itu, menurut sejumlah warga, bisa dialihkan untuk perbaikan infrastruktur atau kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak.
“Kalau Rp500 juta bisa diselamatkan, kita bisa dapat jalan yang lebih layak, bukan tablet yang belum tentu dipakai maksimal,” kata seorang warga Sumenep.
Polemik ini memunculkan satire tersendiri. Di satu sisi, Komisi I tampak mencoba menjaga prioritas anggaran agar sejalan dengan kebutuhan publik.
Polemik ini memunculkan satire tersendiri. Di satu sisi, Komisi I tampak mencoba menjaga prioritas anggaran agar sejalan dengan kebutuhan publik.
Di sisi lain, Sekretariat DPRD seperti memiliki “mimpi lain” yang tak sejalan dengan mimpi masyarakat dan para legislator.
Publik pun bertanya-tanya, mimpi siapa yang sebenarnya diperjuangkan dalam pengadaan tablet ini?
Pengadaan tablet DPRD Sumenep kini menjadi sorotan karena dianggap tidak urgent, tidak sesuai arahan komisi, dan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Pengadaan tablet DPRD Sumenep kini menjadi sorotan karena dianggap tidak urgent, tidak sesuai arahan komisi, dan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Ketiadaan transparansi atas alasan tetap dilanjutkannya program ini membuat publik semakin curiga ada kepentingan lain tertentu yang lebih mendominasi.
Meski demikian, hingga sekarang Sekretariat DPRD belum memberikan penjelasan detail mengenai dasar keputusan mereka.
Meski demikian, hingga sekarang Sekretariat DPRD belum memberikan penjelasan detail mengenai dasar keputusan mereka.
Ketidakjelasan ini membuat diskursus publik semakin liar, mulai dari dugaan arogansi birokrasi hingga indikasi preferensi belanja yang tidak sesuai kebutuhan.
Kontroversi pengadaan tablet DPRD Sumenep menjadi pengingat bahwa tata kelola anggaran publik harus selalu diawasi ketat.
Kontroversi pengadaan tablet DPRD Sumenep menjadi pengingat bahwa tata kelola anggaran publik harus selalu diawasi ketat.
Keputusan sepihak yang bertolak belakang dengan arahan komisi I DPRD Sumenep jelas berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintahan.
Untuk saat ini, publik hanya bisa berharap agar polemik ini segera mendapat penjelasan resmi dan dievaluasi secara transparan.
Untuk saat ini, publik hanya bisa berharap agar polemik ini segera mendapat penjelasan resmi dan dievaluasi secara transparan.
Sebab, tanpa klarifikasi, pengadaan tablet Rp500 juta ini akan terus menjadi simbol kebijakan yang lebih mirip “upgrade gadget” dibanding upaya meningkatkan pelayanan publik.
(*)

