Pengadaan Tablet DPRD Sumenep, Fasilitas Entertain, dan Wajah Birokrasi Kita - Etolesa Etolesa

Pengadaan Tablet DPRD Sumenep, Fasilitas Entertain, dan Wajah Birokrasi Kita

Sabtu, 04 Oktober 2025, 21:57
Pengadaan Tablet DPRD Sumenep, Fasilitas Entertain, dan Wajah Birokrasi Kita


Berita tentang rencana pengadaan tablet anggota DPRD Sumenep mungkin tampak sepele dibandingkan hiruk-pikuk politik nasional. Namun kisah di baliknya, sebagaimana dilaporkan Radar Madura pada 3 Oktober 2025, menyentuh persoalan yang lebih dalam: moralitas dalam birokrasi, relasi kuasa dalam pengadaan, dan wajah buram tata kelola pemerintahan di tingkat lokal.

Ceritanya sederhana, tapi menggelitik. Seorang penyedia barang mengaku dijanjikan proyek pengadaan tablet oleh pihak Sekretariat DPRD Sumenep. Ia bahkan mengatakan telah menghabiskan hampir ratusan juta rupiah untuk memenuhi permintaan fasilitas entertain dari oknum yang diduga berperan dalam menentukan proyek tersebut. Tapi proyek yang diharapkan tak kunjung datang, seperti kabar burung yang tak jelas arah terbangnya.

Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa sesuatu yang tampak kecil seperti pengadaan tablet bisa melibatkan “layanan hiburan” bernilai ratusan juta rupiah? Bukankah ini hanya soal perangkat elektronik untuk mendukung kerja para wakil rakyat? Di sinilah absurditas birokrasi kita muncul ke permukaan.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah, menurut teori tata kelola publik, seharusnya dijalankan atas dasar kebutuhan lembaga, bukan hubungan personal. Kementerian PAN-RB (2023) menegaskan bahwa proses pengadaan mesti menjunjung efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Namun dalam praktiknya, proses itu kerap melibatkan pertemuan informal, percakapan di luar kantor, hingga permintaan fasilitas nonformal. Dalam konteks ini, “layanan hiburan” menjadi simbol betapa kaburnya batas antara urusan publik dan kepentingan pribadi.

Jika pengakuan penyedia itu benar, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran etik, melainkan potensi gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun jika tuduhan itu keliru, maka penyebarannya ke media juga bisa merusak reputasi pejabat yang disebut. Dua-duanya tidak baik. Dan dua-duanya menandakan betapa rapuhnya kepercayaan antara pelaku usaha dan birokrasi publik kita.

Padahal, secara konsep, pengadaan tablet untuk DPRD punya manfaat strategis. Ia bisa membantu percepatan kinerja, mengurangi penggunaan kertas, dan memperkuat sistem digitalisasi pemerintahan. Daerah-daerah lain sudah mencoba hal serupa dengan hasil yang beragam. Di beberapa tempat, tablet benar-benar dimanfaatkan untuk membaca dokumen rapat dan mengakses data secara daring. Tapi di tempat lain, perangkat itu hanya menjadi pajangan mahal di meja anggota dewan.

Penelitian Sugiarto (2021) dalam Jurnal Manajemen dan Administrasi Publik menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan teknologi di lembaga legislatif sangat bergantung pada kesiapan sumber daya manusia dan budaya kerja digital. Tanpa dua hal itu, investasi teknologi hanyalah pengeluaran kosmetik.

Di Sumenep, perdebatan soal pengadaan tablet justru memperlihatkan bahwa sebelum bicara soal efisiensi teknologi, kita masih berkutat pada persoalan etika dasar: siapa yang menjanjikan, siapa yang dijanjikan, dan untuk kepentingan siapa. Di sinilah letak keganjilan yang lebih dalam dari sekadar spesifikasi tablet.

Sekretaris DPRD Sumenep, sebagaimana diberitakan, membantah keras tuduhan telah menjanjikan proyek atau meminta fasilitas entertain. Ia menyebut pemberitaan itu mencoreng nama baiknya. Di sisi lain, penyedia yang mengaku dijanjikan tentu tidak sembarangan bicara jika tak punya dasar. Publik pun dibiarkan menafsir sendiri, sementara kebenaran sejati mungkin hanya berputar di antara segelintir orang.

Dalam keadaan seperti ini, seharusnya Inspektorat Kabupaten Sumenep segera turun tangan. Tidak hanya untuk mencari siapa yang salah, tetapi juga untuk menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang menjadi dasar pemerintahan yang bersih. Pengawasan semacam ini bukan sekadar formalitas; ia adalah cara menjaga agar kepercayaan publik tidak semakin terkikis.

Kisah ini juga memperlihatkan ironi lain: pengadaan tablet, yang seharusnya menjadi simbol modernisasi birokrasi, justru berubah menjadi bahan olok-olok publik. Ketika tujuan pengadaan tidak jelas, kualitas barang dipertanyakan, dan prosesnya dipenuhi aroma gratifikasi, maka hasilnya bukan inovasi, melainkan parodi.

Apalagi, di tengah semua perdebatan, muncul pertanyaan praktis: apakah semua anggota DPRD mampu berlama-lama bekerja menggunakan tablet dalam setiap rapat? World Health Organization (2022) mengingatkan bahwa penggunaan perangkat digital dalam waktu panjang bisa menyebabkan digital eye strain, gangguan yang dapat menurunkan produktivitas dan fokus kerja. Jadi, di satu sisi, pengadaan ini mungkin bisa menghemat kertas, tapi di sisi lain bisa menambah masalah kesehatan kerja.

Dalam perspektif yang lebih luas, fenomena seperti ini menggambarkan bahwa transformasi digital di pemerintahan daerah belum berjalan seimbang antara alat dan mentalitas. Heeks (2020) dalam bukunya Digital Transformation in Local Governance menulis bahwa keberhasilan digitalisasi sektor publik bukan ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh integritas dan kesiapan etis para pelakunya. Teknologi hanya memperkuat nilai-nilai yang sudah ada: jika sistemnya bersih, digitalisasi mempercepat pelayanan; tapi jika sistemnya kotor, teknologi justru mempercepat penyimpangan.

Isu tak sedap yang dihubungkan dengan pengadaan tablet DPRD Sumenep menjadi cermin kecil dari persoalan besar: digitalisasi pemerintahan sering kali diterjemahkan sebatas belanja alat, bukan pembenahan sistem. Kita terlalu sibuk membeli perangkat pintar, tapi lupa memastikan para penggunanya juga berpikir cerdas dan jujur.

Maka, mungkin benar kata pepatah lama: bukan alatnya yang salah, tapi tangan yang memegangnya. Jika budaya birokrasi masih dikuasai logika transaksional—siapa dekat dia dapat—maka setiap inovasi hanya akan berakhir menjadi ritual administratif tanpa makna.

(*)

TerPopuler

close