Tujuh Jurus Buzzer Membungkam Aktivis di Era Digital - Etolesa Etolesa
ETOLESA

Tujuh Jurus Buzzer Membungkam Aktivis di Era Digital

Minggu, 07 September 2025, 21:01
Tujuh Jurus Buzzer Membungkam Aktivis di Era Digital


Aktivis, dalam sejarahnya, selalu disebut sebagai pengganggu kenyamanan. Mereka dianggap ribut, keras kepala, dan tak tahu diri oleh mereka yang diuntungkan dari ketidakadilan. Padahal, fungsi aktivis justru ada di sana: menolak tunduk pada kebisuan.

Di era digital, risiko yang mereka hadapi kian kompleks. Tidak lagi hanya intimidasi fisik atau represi aparat, melainkan serangan sistematis dari pasukan buzzer. Laporan SAFEnet mencatat, hampir 40 persen aktivis di Indonesia pernah jadi target serangan digital—mulai dari doxing, framing, hingga serbuan komentar seragam.

Buzzer bukan sekadar akun anonim iseng. Mereka mesin politik yang dampaknya nyata. Kehadiran buzzer di media sosial mengubah kritik menjadi tontonan, bahkan mempermainkan opini publik. Dari sini, penting memahami bagaimana mereka bekerja, agar kita tidak gampang terperangkap narasi murahan.

Serangan Karakter

Strategi pertama buzzer adalah menyerang pribadi aktivis. Kritik terhadap kebijakan publik kerap dihadapi dengan tuduhan personal: pengangguran, pencari sensasi, atau bahkan gagal dalam hidup. Tujuannya sederhana: menggeser fokus dari isu substansial ke reputasi individu.

Di Twitter atau Instagram, pola ini terlihat jelas. Foto lama diungkit, riwayat pendidikan dipersoalkan, semua diarahkan agar publik meragukan kredibilitas. Substansi kritik? Dibiarkan menguap di udara.

Aktivis yang paham permainan ini biasanya memilih tetap fokus pada isu. Mereka menolak terpancing balas menghina. Publik pun perlu belajar melihat pola: bila substansi tak disentuh, besar kemungkinan itu permainan buzzer.

Penyebaran Disinformasi

Jurus berikutnya: mengarang fakta. Aktivis yang menolak proyek tambang bisa dituduh menerima dana asing. Pejuang HAM bisa diframing sebagai simpatisan kelompok terlarang. Tanpa bukti, tuduhan itu disebar cepat di media sosial.

Disinformasi bekerja dengan logika sederhana: kecepatan mengalahkan kebenaran. Semakin banyak orang membaca, semakin sulit meluruskan. Publik yang kurang kritis akan mudah termakan.

Melawannya perlu konsistensi data. Aktivis yang bersandar pada penelitian dan sumber resmi lebih tahan serangan. Di sisi lain, publik harus membiasakan diri mengecek fakta sebelum ikut menyebarkan.

Serbuan Komentar Seragam

Tanda paling kasat mata keberadaan buzzer adalah komentar seragam. Satu aktivis bersuara, ribuan akun datang dengan kalimat hampir sama: mengejek, menyudutkan, atau melabeli.

Bagi mata awam, itu tampak seperti suara mayoritas. Padahal, yang bekerja hanyalah satu komando. Efek psikologisnya kuat: kalau ribuan orang berkata sama, bisa jadi memang benar. Di sinilah buzzer memainkan ilusi.

Aktivis yang jeli biasanya meng-capture kesamaan komentar itu untuk memperlihatkan absurditasnya. Publik pun akhirnya paham, keramaian digital sering hanyalah panggung rekayasa.

Pengalihan Isu

Buzzer juga lihai mengalihkan perhatian. Ketika seorang aktivis bicara soal krisis iklim, percakapan bisa digeser ke gaya bicara, pakaian, atau kehidupan pribadinya. Isu utama tenggelam, yang tersisa hanya kegaduhan.

Publik digital mudah tergoda dengan hal remeh. Pengalihan ini membuat masalah serius seolah tidak penting. Di titik ini, strategi komunikasi menjadi kunci. Aktivis perlu mengarahkan kembali diskusi ke substansi.

Edukasi publik juga penting. Bila orang paham bahwa pengalihan isu adalah taktik, mereka tak mudah termakan.

Intimidasi Psikologis

Buzzer tak segan memakai ancaman. Ada yang mengirim pesan kasar lewat DM, ada pula yang membuat postingan seolah-olah aktivis sedang diawasi.

Bentuk intimidasi ini menekan sisi psikologis. Banyak aktivis merasa tertekan, cemas, bahkan kehilangan keberanian bersuara. Rasa aman terganggu, kritik pun perlahan padam.

Solidaritas publik jadi penawar. Dukungan terbuka, komentar positif, atau sekadar menyebarkan ulang pesan aktivis bisa jadi penguat mental. Aktivis yang tahu ia tidak sendiri akan lebih tegar menghadapi serangan.

Doxing dan Ancaman Nyata

Salah satu jurus paling kejam adalah doxing: penyebaran data pribadi. Alamat rumah, nomor telepon, hingga identitas keluarga dibocorkan. Dengan dalih “membuka kedok,” buzzer justru membahayakan keselamatan.

Aktivis perempuan rentan jadi sasaran. Data pribadi bisa digunakan untuk pelecehan. Risiko ini membuat doxing jadi senjata berbahaya.

Menghadapinya perlu literasi digital: enkripsi, pengaturan privasi, dan pengelolaan jejak digital. Bagi publik, satu hal penting: jangan ikut menyebarkan informasi pribadi, meskipun penasaran.

Normalisasi Kebisuan

Jurus terakhir adalah menciptakan atmosfer ketakutan. Aktivis yang diserang dijadikan contoh agar orang lain belajar diam. Lama-lama, kritik dianggap aneh, sementara pujian dianggap normal.

Bila dibiarkan, ini berbahaya bagi demokrasi. Publik terbiasa dengan kebisuan, suara kritis mati sebelum terdengar. Ruang publik pun hanya berisi narasi penguasa dan buzzer.

Penawarnya ada pada keberanian kolektif. Semakin banyak orang berani bersuara, buzzer kehilangan target tunggal. Kebisuan yang dipaksakan bisa pecah, digantikan oleh solidaritas.

Menolak Tunduk pada Mesin Buzzer

Fenomena buzzer membuktikan, demokrasi digital punya sisi gelap. Aktivis yang seharusnya menjadi pengingat publik justru dilabeli, diintimidasi, dan dibungkam dengan strategi sistematis.

Namun, kesadaran publik bisa jadi benteng. Semakin banyak orang memahami cara kerja buzzer, semakin sulit mereka memainkan opini.

Kritik adalah bagian dari demokrasi. Menjaganya tetap hidup berarti menolak tunduk pada mesin buzzer.

Menurutmu, jurus mana yang paling sering kamu lihat di media sosial belakangan ini? Apakah serangan karakter, disinformasi, atau justru normalisasi kebisuan?


(*)

TerPopuler

close