ETOLESA.WEB.ID - Sastra Sumenep seolah sedang bernafas dalam diam. Di tengah deretan agenda wisata dan budaya yang megah dalam event calendar Sumenep 2025, tak ada satu pun festival sastra yang tercantum.
Padahal, Sumenep dikenal sebagai tanah kelahiran para sastrawan kawakan yang namanya diperhitungkan di luar daerah. Namun di tanah sendiri, eksistensi mereka seakan tak terlihat, seolah hanya bergaung di ruang-ruang kecil komunitas dan layar grup media sosial.
Para penulis, penyair, dan pegiat teater di Sumenep tumbuh dalam kesunyian. Mereka terus berkarya tanpa panggung besar, bertahan seperti lilin yang menerangi ruangnya sendiri. Sanggar-sanggar teater, kelompok puisi, dan komunitas seni masih ada, tetapi hidup dalam lingkaran terbatas.
Para penulis, penyair, dan pegiat teater di Sumenep tumbuh dalam kesunyian. Mereka terus berkarya tanpa panggung besar, bertahan seperti lilin yang menerangi ruangnya sendiri. Sanggar-sanggar teater, kelompok puisi, dan komunitas seni masih ada, tetapi hidup dalam lingkaran terbatas.
Tidak ada wadah resmi yang mampu menampilkan mereka di panggung publik. Dalam daftar panjang Event Sumenep 2025, tak ditemukan satu pun agenda besar yang menandai eksistensi sastra.
Sastra Tanpa Panggung
Ketimpangan ini terasa ketika membandingkan panggung sastra dengan perayaan budaya lain yang spektakuler. Pemerintah Kabupaten Sumenep memang menggelar Madura Ethnic Culture (MEC) 2025 dengan kemegahan panggung dan sorotan lampu.
Sastra Tanpa Panggung
Ketimpangan ini terasa ketika membandingkan panggung sastra dengan perayaan budaya lain yang spektakuler. Pemerintah Kabupaten Sumenep memang menggelar Madura Ethnic Culture (MEC) 2025 dengan kemegahan panggung dan sorotan lampu.
Namun di sisi lain, lomba baca puisi yang digelar hanya menjadi pelengkap kecil, tanpa kemeriahan dan atensi besar. Seolah, sastra tidak cukup penting untuk dirayakan secara megah.
Padahal, festival sastra bukan sekadar ajang lomba menulis atau membaca puisi. Ia bisa menjadi ruang untuk mempertemukan penulis, memperkaya wawasan masyarakat, sekaligus memperkenalkan Sumenep sebagai kota literasi.
Padahal, festival sastra bukan sekadar ajang lomba menulis atau membaca puisi. Ia bisa menjadi ruang untuk mempertemukan penulis, memperkaya wawasan masyarakat, sekaligus memperkenalkan Sumenep sebagai kota literasi.
Banyak daerah di Indonesia sukses membangun citra budaya melalui festival semacam itu, seperti Ubud Writers & Readers Festival di Bali atau Makassar International Writers Festival. Sayangnya, Sumenep justru absen dari barisan itu.
Sastrawan yang Dikenal di Luar, Dilupakan di Rumah Sendiri
Fenomena lain yang ironis, banyak sastrawan Sumenep justru dikenal luas di luar daerah. Mereka diundang dalam forum nasional, tampil di kampus, dan dibahas dalam majalah sastra.
Sastrawan yang Dikenal di Luar, Dilupakan di Rumah Sendiri
Fenomena lain yang ironis, banyak sastrawan Sumenep justru dikenal luas di luar daerah. Mereka diundang dalam forum nasional, tampil di kampus, dan dibahas dalam majalah sastra.
Namun di kampung halaman sendiri, namanya jarang muncul di panggung resmi. Publik lokal bahkan banyak yang tak mengenal kiprah mereka.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa penghargaan terhadap karya sastra belum menjadi bagian dari kebijakan kultural daerah.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa penghargaan terhadap karya sastra belum menjadi bagian dari kebijakan kultural daerah.
Pemerintah daerah lebih fokus pada promosi wisata fisik, bukan wisata gagasan dan imajinasi. Padahal, karya sastra bisa menjadi medium kuat untuk mengenalkan nilai, sejarah, dan karakter Sumenep dengan cara yang lembut tapi mendalam.
Saatnya Pemerintah Melihat Sastra Sebagai Investasi Budaya
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Sumenep memberi perhatian lebih pada dunia sastra. Dukungan tidak harus selalu berupa dana besar. Cukup dengan menyediakan ruang, panggung, dan forum yang memberi tempat bagi para penulis dan teater lokal untuk menampilkan karya mereka.
Festival sastra bisa menjadi ajang tahunan yang memperkaya calendar of event Sumenep. Selain menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap karya literasi, festival semacam itu juga bisa menjadi daya tarik wisata intelektual.
Saatnya Pemerintah Melihat Sastra Sebagai Investasi Budaya
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Sumenep memberi perhatian lebih pada dunia sastra. Dukungan tidak harus selalu berupa dana besar. Cukup dengan menyediakan ruang, panggung, dan forum yang memberi tempat bagi para penulis dan teater lokal untuk menampilkan karya mereka.
Festival sastra bisa menjadi ajang tahunan yang memperkaya calendar of event Sumenep. Selain menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap karya literasi, festival semacam itu juga bisa menjadi daya tarik wisata intelektual.
Wisatawan tidak hanya datang untuk melihat keindahan pantai atau kuliner, tetapi juga untuk menikmati narasi tentang kehidupan dan budaya Madura yang tersirat dalam puisi dan prosa.
Sastra dan ASN: Imajinasi untuk Membangun Daerah
Lebih jauh lagi, sastra juga dapat menjadi sarana membangun karakter aparatur sipil negara (ASN). Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra—seperti empati, imajinasi, dan keindahan berpikir—bisa menumbuhkan sikap kreatif dan reflektif.
Sastra dan ASN: Imajinasi untuk Membangun Daerah
Lebih jauh lagi, sastra juga dapat menjadi sarana membangun karakter aparatur sipil negara (ASN). Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra—seperti empati, imajinasi, dan keindahan berpikir—bisa menumbuhkan sikap kreatif dan reflektif.
ASN yang akrab dengan sastra akan lebih peka terhadap persoalan sosial dan memiliki cara pandang yang lebih humanis dalam menjalankan tugasnya.
Membangun Sumenep bukan hanya soal beton dan jalan, tetapi juga soal membangun imajinasi. Sastra melatih kemampuan melihat hal kecil dengan makna besar, menumbuhkan keberanian berpikir di luar kebiasaan, dan membuka ruang dialog batin antarwarga.
Menulis Masa Depan Sastra Sumenep
Sumenep perlu mengembalikan napas sastra ke ruang publik. Pemerintah, komunitas, dan masyarakat harus bersinergi menciptakan ruang bagi ekspresi sastra.
Membangun Sumenep bukan hanya soal beton dan jalan, tetapi juga soal membangun imajinasi. Sastra melatih kemampuan melihat hal kecil dengan makna besar, menumbuhkan keberanian berpikir di luar kebiasaan, dan membuka ruang dialog batin antarwarga.
Menulis Masa Depan Sastra Sumenep
Sumenep perlu mengembalikan napas sastra ke ruang publik. Pemerintah, komunitas, dan masyarakat harus bersinergi menciptakan ruang bagi ekspresi sastra.
Jika dikelola dengan serius, festival sastra bisa menjadi ikon baru kebanggaan daerah, sama pentingnya dengan festival budaya lain yang selama ini diagungkan.
Sastra bukan sekadar kata-kata, melainkan cermin jiwa masyarakat. Di dalamnya tersimpan daya hidup yang bisa menyalakan semangat dan imajinasi pembangunan.
Sastra bukan sekadar kata-kata, melainkan cermin jiwa masyarakat. Di dalamnya tersimpan daya hidup yang bisa menyalakan semangat dan imajinasi pembangunan.
Dan di Sumenep, lilin-lilin kecil para sastrawan itu seharusnya tak lagi menerangi ruangnya sendiri—melainkan menjadi cahaya besar yang menyinari seluruh kota.
(*)

