ETOLESA.WEB.ID - SUMENEP - Anggaran 258 juta untuk beli bibit pohon, tapi warga masih di wilayah kekeringan kesulitan mendapatkan air bersih, ini ironi. Begitu kelakar publik Sumenep yang belakangan ramai di warung kopi. Mereka heran, uang sebanyak itu mau bikin kota jadi rindang atau cuma sekadar hiasan Instagram?
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sumenep menggelontorkan anggaran tersebut untuk pengadaan bibit tanaman tahun ini.
Kepala Bidang Tata Lingkungan DLH Sumenep, Moh. Hasinuddin Firdaus, memastikan bibit sudah mulai ditanam. “Penanaman sudah dilakukan di beberapa lokasi yang tersebar, baik di daratan maupun kepulauan,” ujarnya, Jumat (5/9/2025).
Lokasi penanaman antara lain Desa Lenteng, Desa Batuan, taman kota, sepanjang ruas jalan, hingga kebun bibit di Pulau Sapudi. Dari data Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP), anggaran itu terbagi tiga klaster: Rp 199,4 juta, Rp 47,1 juta, dan Rp 12,3 juta.
Jenis bibitnya pun beragam, mulai dari tabebuya, flamboyan, sukun, sawo kecik, mahoni, kelengkeng, hingga tanaman hias seperti pucuk merah, sansevieria, dan puring.
Namun, publik mempertanyakan arah program ini. “Kalau bibitnya cuma ditaruh di pinggir jalan kota, buat apa? Masyarakat di daerah kering tetap susah air,” sindir seorang warga.
Sejumlah pengamat lingkungan mengingatkan agar program ini tak jadi formalitas seremonial. Bibit mestinya ditanam di wilayah rawan kekeringan untuk konservasi air dan penahan tanah.
“Kalau flamboyan ditanam di Sapudi tapi warganya tetap rebutan air bersih, ya itu namanya pohon pajangan, bukan solusi,” komentar warga lain.
Sorotan publik ini jadi alarm. Anggaran hijau seharusnya membuat tanah subur, bukan sekadar mempercantik brosur kegiatan dinas.
(*)