Melawan Buzzer di Era Digital: Antara Kebenaran, Emosi, dan Kesadaran Publik - Etolesa Etolesa
ETOLESA

Melawan Buzzer di Era Digital: Antara Kebenaran, Emosi, dan Kesadaran Publik

Jumat, 05 September 2025, 20:19
Melawan Buzzer di Era Digital: Antara Kebenaran, Emosi, dan Kesadaran Publik



ETOLESA.WEB.ID - SUMENEP - Buzzer selalu punya satu senjata utama: kecepatan dan kebisingan. Mereka tidak peduli soal kebenaran. Yang penting adalah siapa yang lebih dulu muncul di layar gawai kita dan siapa yang paling sering mengulang narasi. Semakin sering kita mendengar kebohongan, semakin besar peluang sebagian orang menganggapnya sebagai kenyataan.

Fenomena buzzer ini bukan barang baru. Dari propaganda politik klasik hingga era media sosial, mekanisme psikologis manusia untuk mempercayai sesuatu yang terus-menerus diulang selalu sama. Itulah sebabnya melawan buzzer bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga kesadaran diri.

Emosi Lebih Cepat dari Logika

Psikologi komunikasi sudah lama membuktikan, otak manusia merespons informasi emosional lebih cepat ketimbang informasi rasional. Inilah alasan buzzer selalu memancing emosi: dengan amarah, sindiran, atau rasa takut. Jika kita lengah, kita justru menjadi penyebar tanpa sadar dari narasi yang sengaja mereka bangun.

Pertanyaan pentingnya: bagaimana menjaga diri agar tidak ikut hanyut dalam arus narasi buzzer?

Pola Bahasa yang Repetitif

Buzzer tidak datang dengan argumen bernas. Mereka hadir dengan pola kalimat repetitif, penuh generalisasi, dan sarat ejekan. Misalnya, komentar pendek yang hanya menyulut emosi tanpa data. Semakin sering pola itu muncul di linimasa, semakin besar ilusi bahwa narasi itu adalah “suara umum”.

Di dunia nyata, mekanismenya sama seperti gosip. Semakin banyak orang mengulang cerita, semakin besar peluang gosip itu dianggap kebenaran. Bedanya, buzzer bekerja dalam skala masif, dibantu algoritma media sosial.

Kesadaran atas pola ini adalah langkah pertama. Cukup dengan bertanya pada diri sendiri: ini argumen, atau hanya pengulangan kosong? Pertanyaan sederhana yang bisa mengembalikan otak ke mode kritis.

Jangan Balas dengan Amarah

Buzzer hidup dari reaksi emosional. Semakin marah lawannya, semakin besar peluang narasinya viral. Serangan mereka sengaja diarahkan ke ranah identitas atau kepercayaan, hal-hal sensitif yang cepat memicu reaksi.

Kita sering melihatnya di debat politik daring. Alih-alih mendebat data, buzzer menulis komentar provokatif. Lawannya pun terpancing. Diskusi melebar, emosi jadi panggung, sementara substansi hilang.

Mengendalikan diri bukan berarti diam. Justru dengan menunda respons, kita memutus rantai yang mereka butuhkan. Tidak memberi panggung gratis adalah cara paling efektif melawan buzzer.

Cek Sumber Sebelum Percaya

Narasi buzzer kerap memakai potongan berita atau sumber tanpa kredibilitas. Satu tautan bisa menyebar ribuan kali hanya dalam hitungan menit. Banyak orang percaya begitu saja, takut dianggap ketinggalan informasi.

Padahal, kebiasaan sederhana seperti menelusuri asal sumber, membaca lebih dari satu media, atau sekadar melihat tanggal berita, bisa mengurangi risiko tertipu. Prinsip ini seharusnya jadi standar sebelum kita menekan tombol “bagikan”.

Latihan Berpikir Kritis

Berpikir kritis bukan soal pintar berdebat. Ia soal kemampuan membedakan fakta dari opini. Buzzer pandai mencampur keduanya dalam satu kalimat, sehingga terdengar meyakinkan padahal hanya retorika berbalut emosi.

Kita sering mendengar kalimat seperti, “Semua orang tahu itu benar.” Klaim semacam ini hanyalah logika sesat. Buzzer memakainya untuk menekan psikologis publik. Jika kita terbiasa bertanya balik dan membongkar klaim absolut, pengaruh mereka pun melemah.

Hindari Jebakan Framing

Salah satu trik favorit buzzer adalah memutar arah diskusi. Mereka tidak menanggapi inti masalah, tetapi menyerang pribadi. Strategi ad hominem ini efektif membuat lawan terpancing emosi.

Di kehidupan sehari-hari, kita juga sering melihat teknik framing. Ketika disalahkan, seseorang bisa saja mengalihkan topik ke kesalahan orang lain. Tanpa sadar, kita ikut hanyut.

Kesadaran soal jebakan framing membuat kita bisa menjaga percakapan tetap di jalur utama. Alih-alih ikut arus, cukup tanyakan ulang: “Apa sebenarnya yang sedang dibahas?”

Batasi Konsumsi Media Sosial

Algoritma media sosial bekerja dengan gema. Semakin sering kita berinteraksi dengan narasi buzzer, semakin sering pula narasi itu muncul di beranda. Lama-lama, kita merasa itulah suara mayoritas.

Padahal, realitas di luar dunia digital bisa sangat berbeda. Dengan membatasi konsumsi media sosial, kita memberi ruang untuk perspektif lain. Kita bisa membaca sumber yang lebih kredibel, berdiskusi dengan orang berbeda, dan menjaga keseimbangan nalar.

Pegang Prinsip, Bukan Tren

Buzzer selalu mengikuti tren. Apa pun topiknya, mereka bisa memelintir demi atensi. Jika kita hanya ikut arus, mudah sekali terbawa ombak digital yang mereka ciptakan.

Sikap yang berpegang pada prinsip adalah perisai paling kokoh. Dengan nilai yang jelas, kita menilai informasi berdasarkan pijakan, bukan sekadar mengikuti keramaian. Inilah yang membuat kita tidak rapuh di hadapan manipulasi.

Kesadaran sebagai Senjata Publik

Akhirnya, buzzer hanya bisa berkuasa jika publik lengah. Dengan kesadaran, disiplin berpikir kritis, dan kendali emosi, panggung mereka bisa runtuh.

Tentu, melawan buzzer di era media sosial bukan pekerjaan mudah. Ada tujuh langkah yang bisa kita lakukan: mengenali pola bahasa, tidak membalas dengan amarah, memeriksa sumber, melatih berpikir kritis, menghindari framing, membatasi media sosial, dan berpegang pada prinsip.

Namun, pertanyaan yang lebih tajam adalah: di antara semua itu, mana yang paling sulit dilakukan? Apakah menahan amarah, atau sekadar berhenti scroll di linimasa?

Satu hal pasti, buzzer tidak akan pernah berhenti. Maka, publik pun harus lebih cerdas. Jika tidak, kebenaran akan kalah oleh kecepatan.


(*)

TerPopuler

close