Per 1 September 2025, kursi Sekretaris Daerah Sumenep resmi lowong. Yang pensiun bukan hanya seorang birokrat senior, tapi juga jantung koordinasi pemerintahan. Begitu kursi itu kosong, nama-nama calon Plt Sekda berhamburan. Ada yang muncul lewat bisik-bisik koridor, ada pula yang sengaja dipasang di media dengan gaya promosi diri.
Padahal, meski hanya embel-embel “Pelaksana Tugas,” Sekda punya kuasa penuh. Ia adalah konduktor orkestra birokrasi. Tugasnya memastikan rapat tidak hanya jadi forum makan snack, anggaran tidak sekadar angka di excel, dan kebijakan tidak membusuk di rak arsip. Salah pilih orang, jangan heran kalau musik birokrasi sumbang, beperan, dan cengeng.
Politik birokrasi memang punya selera humor aneh. Di satu sisi, publik diminta percaya pada jargon meritokrasi. Di sisi lain, pejabat bisa muncul di media dengan gaya “Saya siap jadi Plt Sekda!” atau "Saya siap jadi Sekda!" Persis seperti caleg cari suara. Pertanyaannya: ini seleksi jabatan paling strategis dan sangat menentukan kemajuan Sumenep, atau kontes narsisme?
Seorang pejabat sejati tak perlu deklarasi. Kalau kualitasnya mumpuni, publik bersama fakta yang akan bicara. Kalau harus promosi sendiri, justru menunjukkan kelemahan. Sumenep tak butuh pejabat narsis, tapi birokrat yang sanggup menggerakkan mesin pemerintahan dengan tenang, tanpa drama.
Mari buka kitab klasik Sun Tzu:
Pertama, pemimpin harus bisa keras dan lembut. Kebanyakan keras, jadi diktator. Kebanyakan lembut, dilindas bawahan sendiri. Kedua, bertindak sesuai realitas. Dunia birokrasi berubah cepat, terutama di era digital dan transparansi. Sekda yang baik bukan yang pandai basa-basi, tapi yang bisa menggerakkan sistem. Ketiga, pekerjakan yang mampu, bukan sekadar yang dekat. Kedengarannya sederhana, tapi di Sumenep justru itu yang paling sulit.
Ada pepatah: jika akar pohon dalam, pohonnya tinggi, lalu berbuah. Plt Sekda adalah akar itu. Kalau akarnya rapuh, pohon yang tumbuh hanya menghasilkan buah busuk. Inilah taruhan besar, karena Sumenep sedang menghadapi bonus demografi. Penduduk mudanya besar, energi sosial melimpah. Kalau birokrasi tangguh, energi itu jadi modal pembangunan. Kalau birokrasi lemah, energi itu berubah jadi beban sosial: pengangguran naik, frustrasi merebak, potensi daerah tinggal jargon.
Sumenep di persimpangan. Potensinya tidak kecil. Ada ladang minyak, garam dan hasil pertanian lainnya berlimpah, wisata kepulauan yang eksotis, hingga budaya khas. Tapi potensi itu butuh birokrasi gesit. Salah pilih Sekda, jangan harap Sumenep bisa maju.
Plt Sekda, pada akhirnya, adalah cermin kualitas sang Bupati. Kalau ia asal comot, itu tanda ia lebih mementingkan kenyamanan pribadi ketimbang masa depan daerah. Kalau berani memilih yang tepat—meski mungkin usianya masih muda—itu bukti ia memimpin dengan visi.
Keputusan ini akan dikenang. Apakah Bupati akan tercatat sebagai pemimpin yang menaruh orang tepat di kursi tepat, atau pemimpin yang membiarkan birokrasi jadi panggung kompromi?
Dalam sejarah kepemimpinan, ada pepatah sederhana: jika kebajikan mengalahkan ketamakan, daerah akan maju. Jika ketamakan menang, daerah akan runtuh. Jika kewaspadaan mengalahkan kelalaian, rakyat beruntung. Jika kelalaian yang menang, rakyat jadi korban.
Pilihan ini bukan sekadar teknis. Ini taruhan politik, ekonomi, dan moral. Bupati Sumenep bisa menjadikannya kesempatan emas untuk meneguhkan arah pembangunan dan visi misinya. Atau, sebaliknya, menjadikannya batu sandungan yang memperlihatkan kelemahannya sendiri.
Rakyat Sumenep berhak menuntut transparansi. Karena kursi Sekda bukan lotere. Bukan juga hasil lomba karaoke. Ia adalah posisi strategis yang akan menentukan nasib kabupaten dengan 126 pulau ini.
Pada akhirnya, rakyat akan menilai: apakah Bupati benar-benar pemimpin dengan visi, atau hanya pengelola status quo dengan wajah baru. Apakah ia berani mengambil risiko memilih yang berkualitas, atau sekadar mencari kenyamanan.
Kalau salah pilih, Sumenep hanya akan sibuk dengan drama internal birokrasi, sementara peluang emas demografi terbuang. Kalau benar memilih, Sumenep punya harapan: keluar dari pinggiran, melangkah sebagai kabupaten yang betul-betul maju.
Ada pepatah: jika akar pohon dalam, pohonnya tinggi, lalu berbuah. Plt Sekda adalah akar itu. Kalau akarnya rapuh, pohon yang tumbuh hanya menghasilkan buah busuk. Inilah taruhan besar, karena Sumenep sedang menghadapi bonus demografi. Penduduk mudanya besar, energi sosial melimpah. Kalau birokrasi tangguh, energi itu jadi modal pembangunan. Kalau birokrasi lemah, energi itu berubah jadi beban sosial: pengangguran naik, frustrasi merebak, potensi daerah tinggal jargon.
Sumenep di persimpangan. Potensinya tidak kecil. Ada ladang minyak, garam dan hasil pertanian lainnya berlimpah, wisata kepulauan yang eksotis, hingga budaya khas. Tapi potensi itu butuh birokrasi gesit. Salah pilih Sekda, jangan harap Sumenep bisa maju.
Plt Sekda, pada akhirnya, adalah cermin kualitas sang Bupati. Kalau ia asal comot, itu tanda ia lebih mementingkan kenyamanan pribadi ketimbang masa depan daerah. Kalau berani memilih yang tepat—meski mungkin usianya masih muda—itu bukti ia memimpin dengan visi.
Keputusan ini akan dikenang. Apakah Bupati akan tercatat sebagai pemimpin yang menaruh orang tepat di kursi tepat, atau pemimpin yang membiarkan birokrasi jadi panggung kompromi?
Dalam sejarah kepemimpinan, ada pepatah sederhana: jika kebajikan mengalahkan ketamakan, daerah akan maju. Jika ketamakan menang, daerah akan runtuh. Jika kewaspadaan mengalahkan kelalaian, rakyat beruntung. Jika kelalaian yang menang, rakyat jadi korban.
Pilihan ini bukan sekadar teknis. Ini taruhan politik, ekonomi, dan moral. Bupati Sumenep bisa menjadikannya kesempatan emas untuk meneguhkan arah pembangunan dan visi misinya. Atau, sebaliknya, menjadikannya batu sandungan yang memperlihatkan kelemahannya sendiri.
Rakyat Sumenep berhak menuntut transparansi. Karena kursi Sekda bukan lotere. Bukan juga hasil lomba karaoke. Ia adalah posisi strategis yang akan menentukan nasib kabupaten dengan 126 pulau ini.
Pada akhirnya, rakyat akan menilai: apakah Bupati benar-benar pemimpin dengan visi, atau hanya pengelola status quo dengan wajah baru. Apakah ia berani mengambil risiko memilih yang berkualitas, atau sekadar mencari kenyamanan.
Kalau salah pilih, Sumenep hanya akan sibuk dengan drama internal birokrasi, sementara peluang emas demografi terbuang. Kalau benar memilih, Sumenep punya harapan: keluar dari pinggiran, melangkah sebagai kabupaten yang betul-betul maju.
(Redaksi)