Oleh: Redaksi Etolesa
Langkah Komisi III DPRD Sumenep membentuk posko pengaduan terkait program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) mengundang tanda tanya besar. Di tengah proses hukum yang tengah berjalan di Kejaksaan Negeri Sumenep, posko ini justru dinilai sebagai upaya politik pencitraan yang tidak sepenuhnya dibarengi dengan kepatuhan prosedural dan kelembagaan.
Perlu diketahui, hingga akhir April 2025, Kejari Sumenep telah memanggil 18 pihak untuk dimintai klarifikasi terkait dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan BSPS Sumenep. Dari kepala desa di 15 kecamatan hingga pejabat Disperkimhub Sumenep, semuanya telah dan akan diperiksa. Dengan proses hukum yang sudah berjalan, kehadiran posko aduan versi DPRD justru membingungkan. Apakah Komisi III sedang melengkapi data Kejari, atau sedang mencari panggung di tengah kekacauan?
Yang patut disayangkan, pembentukan posko ini tidak memiliki dasar hukum formal. Tidak ada keputusan resmi DPRD yang membenarkan langkah tersebut. Idealnya, inisiatif seperti ini dibahas dalam forum resmi seperti rapat paripurna dan dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) kelembagaan. Tanpa itu, posko pengaduan ini menjadi aksi unilateral yang rawan disalahartikan sebagai manuver politik semata.
Dugaan pencitraan bukan tanpa alasan. Dalam beberapa bulan terakhir, DPRD Sumenep kerap menjadi sasaran kritik masyarakat dan media. Mulai dari Ketua DPRD yang menolak menemui demonstran mahasiswa, Komisi III yang dianggap tidak konsisten dalam pengawasan tambang ilegal, hingga pembelian mobil dinas baru yang dinilai tidak peka terhadap kondisi anggaran daerah. Semuanya menjadi catatan kelam DPRD periode 2024–2029.
Maka, publik patut curiga. Posko BSPS bisa jadi bukan bentuk kepedulian terhadap rakyat miskin yang gagal menerima bantuan rumah layak huni, melainkan sarana memperbaiki citra lembaga yang tengah runtuh. Jika benar demikian, ini tentu menjadi tamparan keras bagi prinsip representasi rakyat yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para legislator.
Selain itu, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakjelasan arah kerja posko tersebut. Data keluhan yang dikumpulkan untuk apa? Apakah akan diserahkan ke penegak hukum, atau hanya dikemas dalam laporan internal yang tidak pernah ditindaklanjuti? Tanpa kejelasan tugas dan wewenang, posko ini hanya akan menjadi simbol tanpa substansi, sekadar formalitas yang tak memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pimpinan DPRD Sumenep seharusnya tidak tinggal diam. Klarifikasi kepada Komisi III perlu segera dilakukan. Bila tidak, maka potensi konflik internal lembaga dan kekacauan fungsi kelembagaan bisa semakin besar. Ini juga penting untuk menjaga integritas DPRD sebagai institusi yang bekerja berdasarkan aturan, bukan kepentingan individu atau kelompok.
Langkah Komisi III DPRD Sumenep membentuk posko pengaduan terkait program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) mengundang tanda tanya besar. Di tengah proses hukum yang tengah berjalan di Kejaksaan Negeri Sumenep, posko ini justru dinilai sebagai upaya politik pencitraan yang tidak sepenuhnya dibarengi dengan kepatuhan prosedural dan kelembagaan.
Perlu diketahui, hingga akhir April 2025, Kejari Sumenep telah memanggil 18 pihak untuk dimintai klarifikasi terkait dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan BSPS Sumenep. Dari kepala desa di 15 kecamatan hingga pejabat Disperkimhub Sumenep, semuanya telah dan akan diperiksa. Dengan proses hukum yang sudah berjalan, kehadiran posko aduan versi DPRD justru membingungkan. Apakah Komisi III sedang melengkapi data Kejari, atau sedang mencari panggung di tengah kekacauan?
Yang patut disayangkan, pembentukan posko ini tidak memiliki dasar hukum formal. Tidak ada keputusan resmi DPRD yang membenarkan langkah tersebut. Idealnya, inisiatif seperti ini dibahas dalam forum resmi seperti rapat paripurna dan dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) kelembagaan. Tanpa itu, posko pengaduan ini menjadi aksi unilateral yang rawan disalahartikan sebagai manuver politik semata.
Dugaan pencitraan bukan tanpa alasan. Dalam beberapa bulan terakhir, DPRD Sumenep kerap menjadi sasaran kritik masyarakat dan media. Mulai dari Ketua DPRD yang menolak menemui demonstran mahasiswa, Komisi III yang dianggap tidak konsisten dalam pengawasan tambang ilegal, hingga pembelian mobil dinas baru yang dinilai tidak peka terhadap kondisi anggaran daerah. Semuanya menjadi catatan kelam DPRD periode 2024–2029.
Maka, publik patut curiga. Posko BSPS bisa jadi bukan bentuk kepedulian terhadap rakyat miskin yang gagal menerima bantuan rumah layak huni, melainkan sarana memperbaiki citra lembaga yang tengah runtuh. Jika benar demikian, ini tentu menjadi tamparan keras bagi prinsip representasi rakyat yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para legislator.
Selain itu, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakjelasan arah kerja posko tersebut. Data keluhan yang dikumpulkan untuk apa? Apakah akan diserahkan ke penegak hukum, atau hanya dikemas dalam laporan internal yang tidak pernah ditindaklanjuti? Tanpa kejelasan tugas dan wewenang, posko ini hanya akan menjadi simbol tanpa substansi, sekadar formalitas yang tak memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pimpinan DPRD Sumenep seharusnya tidak tinggal diam. Klarifikasi kepada Komisi III perlu segera dilakukan. Bila tidak, maka potensi konflik internal lembaga dan kekacauan fungsi kelembagaan bisa semakin besar. Ini juga penting untuk menjaga integritas DPRD sebagai institusi yang bekerja berdasarkan aturan, bukan kepentingan individu atau kelompok.
Publik memandang bahwa perbaikan citra lembaga DPRD hanya bisa dilakukan melalui kerja nyata dan transparansi, bukan dengan gerakan-gerakan simbolik tanpa dasar hukum. Kembali pada fungsi utama sebagai lembaga pengawas, legislator, dan pengusul anggaran adalah satu-satunya jalan memperbaiki kepercayaan publik yang kian menipis.
DPRD Sumenep harus membuktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri. Dan rakyat Sumenep berhak tahu, apakah langkah-langkah yang dilakukan benar-benar untuk mereka—atau sekadar demi menjaga eksistensi politik menjelang tahun-tahun politik mendatang.
DPRD Sumenep harus membuktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri. Dan rakyat Sumenep berhak tahu, apakah langkah-langkah yang dilakukan benar-benar untuk mereka—atau sekadar demi menjaga eksistensi politik menjelang tahun-tahun politik mendatang.
(*)