ETOLESA.WEB.ID - BERITA SUMENEP - Di tengah badai efisiensi anggaran dan kokohnya prinsip beberapa pos anggaran wajib dikurangi, datanglah kabar buruk dari DPRD Sumenep.
Kabar Buruk itu berjudul: Pembelian Mobil Dinas Baru untuk Pimpinan DPRD Sumenep.
Mobil yang dibeli pun bukan mobil biasa, dan harganya mahal pula. Toyota Vellfire Hybrid dengan harga fantastis: Rp537 juta per unit, sehingga total anggarannya mencapai Rp1,611 miliar.
Baru ada tiga mobil yang terbeli, sementara satu unit lagi, untuk Ketua DPRD Sumenep, dikabarkan masih dalam tahap inden.
Di tengah kondisi fiskal yang menuntut kehati-hatian dan penghematan, langkah ini jelas mengundang tanda tanya besar: sebenarnya efisiensi dilakukan untuk siapa?
Baru ada tiga mobil yang terbeli, sementara satu unit lagi, untuk Ketua DPRD Sumenep, dikabarkan masih dalam tahap inden.
Di tengah kondisi fiskal yang menuntut kehati-hatian dan penghematan, langkah ini jelas mengundang tanda tanya besar: sebenarnya efisiensi dilakukan untuk siapa?
Dan apakah mobil dinas yang sebelumnya sudah rusak berat sehingga harus membeli yang baru?
Tentu saja, ada aksi, ada rekasi. Publik yang mendengar kabar itu, terkejut dan reaksinya, menganggap itu bukanlah tindakan etis dan kurang sejalan dengan kebutuhan masyarakat Kabupaten Sumenep.
Kondisi perekonomian sekarang yang memburuk semestinya menjadi pertimbangan bagi DPRD Sumenep dan fokus berpikir tentang nasib rakyat yang diwakilinya. Di beberapa daerah, program-program sosial harus ditunda demi menyelaraskan APBD dengan kondisi keuangan negara.
Tetapi inilah kenyataan. Inilah ironi yang sedang dipertontonkan DPRD Sumenep. Mengalokasikan anggaran miliaran rupiah demi kenyamanan transportasi pimpinan DPRD Sumenep. Bukankah semestinya wakil rakyat memberi contoh penghematan, bukan justru mengabaikannya?
Lebih parah lagi, mengutip pemberitaan dari memoonline.co.id (14/04/2025), Sekretaris DPRD Sumenep, Yanuar Yudha Bachtiar, menyampaikan bahwa pembelian mobil dinas tersebut telah sesuai dengan aturan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 7, yang mengatur hak pimpinan DPRD atas kendaraan dinas.
Klaim kesesuaian aturan ini memang tak dapat dibantah dari sisi legalitas, namun dari sisi moralitas dan sensitivitas sosial, sangat layak dipertanyakan. Karena hukum bukan hanya soal "boleh" atau "tidak boleh", tapi juga tentang kebijaksanaan dalam membaca situasi.
Boleh bukan berarti wajib, dan klarifikasi Sekwan seolah ingin meredam kegaduhan, namun pada saat yang sama justru memperlihatkan adanya ketidakpekaan kepada kondisi yang sedang terjadi.
Jika alasannya adalah aturan, maka bukankah lebih bijak jika para pimpinan DPRD Sumenep menunda pembelian dan memilih menggunakan mobil dinas lama untuk sementara waktu?
Tentu saja, ada aksi, ada rekasi. Publik yang mendengar kabar itu, terkejut dan reaksinya, menganggap itu bukanlah tindakan etis dan kurang sejalan dengan kebutuhan masyarakat Kabupaten Sumenep.
Kondisi perekonomian sekarang yang memburuk semestinya menjadi pertimbangan bagi DPRD Sumenep dan fokus berpikir tentang nasib rakyat yang diwakilinya. Di beberapa daerah, program-program sosial harus ditunda demi menyelaraskan APBD dengan kondisi keuangan negara.
Tetapi inilah kenyataan. Inilah ironi yang sedang dipertontonkan DPRD Sumenep. Mengalokasikan anggaran miliaran rupiah demi kenyamanan transportasi pimpinan DPRD Sumenep. Bukankah semestinya wakil rakyat memberi contoh penghematan, bukan justru mengabaikannya?
Lebih parah lagi, mengutip pemberitaan dari memoonline.co.id (14/04/2025), Sekretaris DPRD Sumenep, Yanuar Yudha Bachtiar, menyampaikan bahwa pembelian mobil dinas tersebut telah sesuai dengan aturan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 7, yang mengatur hak pimpinan DPRD atas kendaraan dinas.
Klaim kesesuaian aturan ini memang tak dapat dibantah dari sisi legalitas, namun dari sisi moralitas dan sensitivitas sosial, sangat layak dipertanyakan. Karena hukum bukan hanya soal "boleh" atau "tidak boleh", tapi juga tentang kebijaksanaan dalam membaca situasi.
Boleh bukan berarti wajib, dan klarifikasi Sekwan seolah ingin meredam kegaduhan, namun pada saat yang sama justru memperlihatkan adanya ketidakpekaan kepada kondisi yang sedang terjadi.
Jika alasannya adalah aturan, maka bukankah lebih bijak jika para pimpinan DPRD Sumenep menunda pembelian dan memilih menggunakan mobil dinas lama untuk sementara waktu?
Atau, jika memang kendaraan sebelumnya sudah tidak layak, mengapa tidak memilih mobil dinas yang lebih sederhana namun tetap fungsional?
Toh, tujuan utama kendaraan dinas adalah menunjang kinerja, bukan menunjukkan status sosial.
Lebih menggelitik lagi, publik masih belum mendengar tentang kondisi mobil dinas lama. Apakah benar-benar sudah rusak atau hanya sudah tak sesuai gengsi jabatan?
Jika mobil sebelumnya masih bisa digunakan, maka keputusan pembelian mobil baru ini menjadi semakin problematik.
Lebih menggelitik lagi, publik masih belum mendengar tentang kondisi mobil dinas lama. Apakah benar-benar sudah rusak atau hanya sudah tak sesuai gengsi jabatan?
Jika mobil sebelumnya masih bisa digunakan, maka keputusan pembelian mobil baru ini menjadi semakin problematik.
Di sisi lain, jika rusaknya mobil lama menjadi alasan, publik berhak tahu kapan terakhir dilakukan maintenance kendaraan, dan apa rekomendasi teknisnya.
Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: betapa lemah rasa empati Pimpinan DPRD Sumenep terhadap kondisi masyarakat.
Di saat masyarakat Sumenep kebingunan mencukupi kebutuhan mereka, wakil mereka justru sibuk memperbarui kenyamanan pribadi.
Ini bukan sekadar soal kendaraan, tapi soal simbol: simbol kepekaan, simbol kesederhanaan, dan simbol komitmen terhadap prinsip efisiensi yang katanya sedang digalakkan.
Efisiensi anggaran bukan hanya soal memangkas angka, tapi juga soal menciptakan citra pemerintahan yang bijak dan berorientasi pada kepentingan publik.
Jika DPRD Sumenep ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka semestinya dimulai dengan langkah-langkah kecil yang bermakna besar—misalnya, transparansi anggaran, pemangkasan belanja non-prioritas, dan penundaan pembelian aset mewah selama kondisi perekonomian belum benar-benar pulih.
Ini bukan sekadar soal kendaraan, tapi soal simbol: simbol kepekaan, simbol kesederhanaan, dan simbol komitmen terhadap prinsip efisiensi yang katanya sedang digalakkan.
Efisiensi anggaran bukan hanya soal memangkas angka, tapi juga soal menciptakan citra pemerintahan yang bijak dan berorientasi pada kepentingan publik.
Jika DPRD Sumenep ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka semestinya dimulai dengan langkah-langkah kecil yang bermakna besar—misalnya, transparansi anggaran, pemangkasan belanja non-prioritas, dan penundaan pembelian aset mewah selama kondisi perekonomian belum benar-benar pulih.
Bukan malah berlindung di balik aturan yang—meskipun legal—namun tidak etis jika dilihat dari kacamata publik.
Publik tak menolak hak pejabat untuk mendapatkan fasilitas dinas. Namun, dalam situasi keuangan negara yang ketat, setiap belanja yang tidak mendesak wajib ditinjau ulang. Apalagi belanja yang berkaitan dengan kemewahan.
Publik tak menolak hak pejabat untuk mendapatkan fasilitas dinas. Namun, dalam situasi keuangan negara yang ketat, setiap belanja yang tidak mendesak wajib ditinjau ulang. Apalagi belanja yang berkaitan dengan kemewahan.
Bukankah para pemimpin kita sering berkata bahwa saat ini kita harus bergotong royong dan berkorban demi kemajuan bersama?
Maka, pembelian mobil mewah di tengah seruan efisiensi ini justru menunjukkan kontradiksi nyata antara ucapan dan tindakan.
Akhirnya, kritik ini tidak ditujukan semata-mata untuk menjatuhkan DPRD Sumenep, tetapi sebagai pengingat bahwa jabatan publik adalah amanah, dan setiap rupiah yang dibelanjakan berasal dari keringat rakyat.
Ketika kepercayaan publik semakin menipis terhadap institusi politik, maka tindakan seperti ini hanya akan memperparah jurang ketidakpercayaan.
Sudah saatnya pejabat publik berpikir ulang sebelum mengeluarkan anggaran, bukan hanya soal sah atau tidak sah, tapi layak atau tidak layak di mata rakyat.
Akhirnya, kritik ini tidak ditujukan semata-mata untuk menjatuhkan DPRD Sumenep, tetapi sebagai pengingat bahwa jabatan publik adalah amanah, dan setiap rupiah yang dibelanjakan berasal dari keringat rakyat.
Ketika kepercayaan publik semakin menipis terhadap institusi politik, maka tindakan seperti ini hanya akan memperparah jurang ketidakpercayaan.
Sudah saatnya pejabat publik berpikir ulang sebelum mengeluarkan anggaran, bukan hanya soal sah atau tidak sah, tapi layak atau tidak layak di mata rakyat.
(*)