etolesa.web.id - Sumenep – PT Wira Usaha Sumekar (WUS) tampak berada di titik nadir dalam perjalanan bisnisnya.
BUMD yang satu ini sudah dua tahun tak ikut menyumbang pada PAD Kabupaten Sumenep. Ini bukanlah sebuah prestasi, mengingat seharusnya BUMD ini menjadi mesin pencetak uang.
Menurut laporan, penghasilan PT WUS dari berbagai bidang usaha mereka hanya cukup untuk biaya operasional.
Artinya, perusahaan ini berhasil menjalankan roda bisnis hanya untuk tetap hidup. Ibarat pohon yang disiram cukup agar tetap hidup, tapi sudah tidak lagi bisa berbuah banyak.
Anggota Komisi II DPRD Sumenep, Masdawi, mengungkapkan bahwa usaha PT WUS di sektor minyak dan gas bumi (migas) sudah menguap entah ke mana.
Sementara itu, usaha lainnya seperti SPBU masih beroperasi, tetapi lebih mirip dengan 'napas buatan' daripada bisnis yang berkembang.
“Komisi II tentu tidak akan percaya begitu saja. Jangan-jangan semua usahanya sudah mati suri atau malah ada kebocoran di sana-sini. Kita akan evaluasi agar semuanya terang benderang,” ujar Masdawi dengan nada penuh kecurigaan yang sangat masuk akal.
Sementara itu, raperda penyertaan modal PT WUS sedang dalam tahap pembahasan. Jika raperda ini disahkan, pemerintah daerah akan kembali mengucurkan dana segar untuk membeli saham sebagai syarat pengelolaan participating interest (PI).
Tentu saja, pertanyaannya adalah: apakah suntikan dana ini akan menyulap PT WUS menjadi bisnis yang benar-benar menghasilkan atau sekadar memperpanjang usianya tanpa perubahan berarti?
Direktur Utama PT WUS, Zainul Ubbadi, dengan lugas mengakui bahwa mereka tidak bisa menyetor dividen kepada pemegang saham tahun ini.
Pasalnya, pendapatan mereka hanya berkisar Rp 50 juta—angka yang lebih mirip pendapatan warung kopi dibandingkan sebuah BUMD yang seharusnya menopang perekonomian daerah.
“Kami tetap rugi dan tidak bisa melakukan bagi hasil,” ujarnya dengan nada pasrah, seakan PT WUS adalah korban keadaan, bukan entitas bisnis yang seharusnya mencari solusi.
Maka kesimpulannya, apakah PT WUS benar-benar masih layak disebut ‘usaha’ yang harus dipertahankan sampai titik darah penghambisan?
Jawabannya mungkin akan terungkap setelah evaluasi yang dilakukan DPRD Sumenep, atau mungkin kita hanya akan mendengar cerita serupa tahun depan—dengan judul yang sama, hanya tahunnya yang berganti.
(*)