ETOLESA.WEB.ID - SUMENEP – Gedung DPRD Sumenep pada Sabtu (30/08) didatangi ratusan massa dari Aliansi Masyarakat Sumenep (AMS).
Mereka menuding para wakil rakyat sibuk dengan urusan internal ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat, sementara aparat kepolisian dituding semakin represif terhadap warga sipil.
Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi sebelumnya di Mapolres Sumenep. Amarah massa belum reda setelah tragedi di Jakarta, ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas dalam insiden yang diduga melibatkan kendaraan taktis Barakuda.
Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi sebelumnya di Mapolres Sumenep. Amarah massa belum reda setelah tragedi di Jakarta, ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas dalam insiden yang diduga melibatkan kendaraan taktis Barakuda.
Bagi massa AMS, peristiwa itu bukan sekadar kecelakaan lalu lintas, melainkan simbol kekerasan negara terhadap rakyatnya.
“Kami yakin ini bukan karena kecelakaan atau kesalahan, namun bentuk represi negara terhadap rakyatnya. Dan ini pembunuhan terstruktur dan terencana,” teriak Mohammad Nor, juru bicara aksi, dari atas mobil komando.
Orasi bergema bergantian dari mahasiswa, aktivis, hingga warga yang ikut turun ke jalan. Kritik paling keras diarahkan ke DPRD Sumenep. Para demonstran menilai dewan telah kehilangan fungsinya sebagai lembaga pengawasan dan justru sibuk bagi-bagi jatah komisi.
“Dewan perwakilan rakyat di Sumenep hari ini sudah kehilangan fungsinya. Mereka lebih sibuk dengan bagi-bagi komisi ketimbang memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya,” kata Nor, disambut teriakan massa yang mengacungkan tangan ke arah gedung dewan.
Koordinator lapangan, Ardianta Alzi Candra, mengingatkan fakta pahit yang terus menghantui kabupaten ini. Sumenep hingga kini masih berada di posisi ketiga termiskin di Jawa Timur. Menurutnya, DPRD tidak pernah menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat miskin.
“Kami menilai DPRD tidak memiliki keberpihakan terhadap rakyat. Masalah kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat selama puluhan tahun tidak pernah ada solusi,” ujarnya.
Namun hingga malam menjelang, tak satu pun anggota DPRD keluar menemui massa. Sekretaris DPRD, Yanuar Yudha Bachtiar, sempat muncul di hadapan demonstran. Tetapi ia langsung ditolak karena dianggap tidak memiliki kewenangan untuk memberikan jawaban politik.
Belakangan, Ketua DPRD Sumenep, H. Zainal Arifin, akhirnya datang menemui massa. Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan bahwa seluruh anggota dewan sedang melakukan reses di daerah pemilihan masing-masing.
“Semua teman-teman anggota DPRD Sumenep saat ini sedang reses,” ujarnya singkat. Ia menyarankan agar massa melanjutkan aksi pada Selasa, 3 September 2025, bersamaan dengan agenda rapat paripurna.
Pernyataan itu memicu kekecewaan. Massa menuntut seluruh anggota DPRD hadir malam itu juga. Sebagian bahkan mengancam akan bermalam di kantor dewan jika tuntutan tidak dipenuhi. Situasi semakin panas ketika sekelompok mahasiswa membakar ban di depan pintu timur gedung. Asap hitam mengepul, menodai pagar kantor dewan.
Aparat kepolisian bersama TNI berjaga ketat di sekitar lokasi aksi. Mereka mengatur arus lalu lintas agar tetap lancar dan mencegah kericuhan meluas. Tetapi desakan massa semakin keras. Empat tuntutan dibacakan dengan lantang: Kapolres Sumenep harus menindak tegas anggotanya yang terbukti represif; menjamin tidak ada lagi kekerasan terhadap aktivis maupun warga sipil; meminta Kapolri mundur sebagai tanggung jawab moral; serta memecat dan menghukum aparat yang diduga menyebabkan kematian Affan Kurniawan.
Kapolres Sumenep, AKBP Rivanda, sebelumnya sudah menemui massa saat aksi di Mapolres. Ia menyampaikan belasungkawa atas kematian Affan dan memastikan bahwa kasus tersebut kini ditangani Propam Mabes Polri.
“Masalah ini sudah ditangani oleh Propam Mabes Polri dan kami akan terus berupaya mengayomi masyarakat secara persuasif. Jika ada anggota kami yang terbukti melakukan pelanggaran, kami akan menindaknya dengan tegas,” kata Rivanda. Ia menyebut tujuh anggota polisi sudah dimintai keterangan terkait insiden itu.
Malam semakin larut, namun massa tetap bertahan di depan kantor DPRD Sumenep. Orasi masih bergema, bendera terus berkibar, dan tuntutan keadilan tak kunjung surut. Bagi AMS, perjuangan ini bukan sekadar menuntut keadilan untuk Affan Kurniawan. Lebih dari itu, aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap arogansi aparat dan pengingat bagi wakil rakyat agar kembali berpihak pada masyarakat yang mereka wakili.
“Kami yakin ini bukan karena kecelakaan atau kesalahan, namun bentuk represi negara terhadap rakyatnya. Dan ini pembunuhan terstruktur dan terencana,” teriak Mohammad Nor, juru bicara aksi, dari atas mobil komando.
Orasi bergema bergantian dari mahasiswa, aktivis, hingga warga yang ikut turun ke jalan. Kritik paling keras diarahkan ke DPRD Sumenep. Para demonstran menilai dewan telah kehilangan fungsinya sebagai lembaga pengawasan dan justru sibuk bagi-bagi jatah komisi.
“Dewan perwakilan rakyat di Sumenep hari ini sudah kehilangan fungsinya. Mereka lebih sibuk dengan bagi-bagi komisi ketimbang memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya,” kata Nor, disambut teriakan massa yang mengacungkan tangan ke arah gedung dewan.
Koordinator lapangan, Ardianta Alzi Candra, mengingatkan fakta pahit yang terus menghantui kabupaten ini. Sumenep hingga kini masih berada di posisi ketiga termiskin di Jawa Timur. Menurutnya, DPRD tidak pernah menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat miskin.
“Kami menilai DPRD tidak memiliki keberpihakan terhadap rakyat. Masalah kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat selama puluhan tahun tidak pernah ada solusi,” ujarnya.
Namun hingga malam menjelang, tak satu pun anggota DPRD keluar menemui massa. Sekretaris DPRD, Yanuar Yudha Bachtiar, sempat muncul di hadapan demonstran. Tetapi ia langsung ditolak karena dianggap tidak memiliki kewenangan untuk memberikan jawaban politik.
Belakangan, Ketua DPRD Sumenep, H. Zainal Arifin, akhirnya datang menemui massa. Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan bahwa seluruh anggota dewan sedang melakukan reses di daerah pemilihan masing-masing.
“Semua teman-teman anggota DPRD Sumenep saat ini sedang reses,” ujarnya singkat. Ia menyarankan agar massa melanjutkan aksi pada Selasa, 3 September 2025, bersamaan dengan agenda rapat paripurna.
Pernyataan itu memicu kekecewaan. Massa menuntut seluruh anggota DPRD hadir malam itu juga. Sebagian bahkan mengancam akan bermalam di kantor dewan jika tuntutan tidak dipenuhi. Situasi semakin panas ketika sekelompok mahasiswa membakar ban di depan pintu timur gedung. Asap hitam mengepul, menodai pagar kantor dewan.
Aparat kepolisian bersama TNI berjaga ketat di sekitar lokasi aksi. Mereka mengatur arus lalu lintas agar tetap lancar dan mencegah kericuhan meluas. Tetapi desakan massa semakin keras. Empat tuntutan dibacakan dengan lantang: Kapolres Sumenep harus menindak tegas anggotanya yang terbukti represif; menjamin tidak ada lagi kekerasan terhadap aktivis maupun warga sipil; meminta Kapolri mundur sebagai tanggung jawab moral; serta memecat dan menghukum aparat yang diduga menyebabkan kematian Affan Kurniawan.
Kapolres Sumenep, AKBP Rivanda, sebelumnya sudah menemui massa saat aksi di Mapolres. Ia menyampaikan belasungkawa atas kematian Affan dan memastikan bahwa kasus tersebut kini ditangani Propam Mabes Polri.
“Masalah ini sudah ditangani oleh Propam Mabes Polri dan kami akan terus berupaya mengayomi masyarakat secara persuasif. Jika ada anggota kami yang terbukti melakukan pelanggaran, kami akan menindaknya dengan tegas,” kata Rivanda. Ia menyebut tujuh anggota polisi sudah dimintai keterangan terkait insiden itu.
Malam semakin larut, namun massa tetap bertahan di depan kantor DPRD Sumenep. Orasi masih bergema, bendera terus berkibar, dan tuntutan keadilan tak kunjung surut. Bagi AMS, perjuangan ini bukan sekadar menuntut keadilan untuk Affan Kurniawan. Lebih dari itu, aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap arogansi aparat dan pengingat bagi wakil rakyat agar kembali berpihak pada masyarakat yang mereka wakili.
(*)